Wednesday, December 2, 2009

Editorial: Ada Apa Dengan Bahasa Indonesia?

Sekitar 2 jam yang lalu saya melihat komentar seorang teman lama tentang testimoni yang saya tulis di Facebook. Dengan nada gurauan, teman lama saya ini menyinggung komentar singkat saya yang ditulis menggunakan "bahasa campur", yaitu perpaduan antara bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia tidak baku dan bahasa Inggris. kelebihnya, dia mempertanyakan kecintaan saya terhadap "indo" yang dianggap sudah luntur. 

Dalam teks "Sumpah Pemuda" yang dikumandangkan 81 tahun yang lampau, pemuda-pemudi bangsa menyetujui pengakuan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa nasional di Indonesia. Baik dari dalam maupun luar negeri, sampai saat ini hanya bahasa Indonesia yang masih diakui sebagai bahasa nasional. Meskipun negara kita merupakan negara dengan tingkat multikulturalisme tertinggi di dunia yang memiliki ribuan bahasa lainnya, namun demikian tetaplah bahasa Indonesia satu-satunya bahasa nasional kita. Lantas apakah permasalahan dengan bahasa pokok kita?

Sejak berakhirnya zaman orde baru 11 tahun silam, sistem demokrasi reformasi menjanjikan pemerintahan demokrasi yang sebenarnya dan perlahan-lahan menawarkan kebebasan bagi rakyat Indonesia untuk berpendapat. Pengaruh budaya asing yang semula dibatasi sudah mulai semakin diterima oleh masyarakat luas. Dalam hal pemakaian bahasa sendiripun dapat ditinjau dari banyaknya muncul pemakaian kosakata bahasa asing, terutama bahasa Inggris yang semakin menjamur di kalangan masyarakat metropolitan tanah air. Media dalam negeri juga secara tidak langsung mempopulerkan pentingnya penggunaan bahasa Inggris yang terpaparkan di berbagai media tak hanya liputan berita dan pariwara, tapi juga dalam industri kreatif budaya Indonesia seperti musik, sinema, liputan hiburan dan berbagai hiburan lainnya. Hal ini menimbulkan paradigma bahwa bahasa asing memiliki nilai jual yang lebih tinggi ketimbang bahasa Indonesia, dan lambat laun, bahasa nasional kita ini mulai dikurangi dan bahkan ditinggalkan oleh pemiliknya sendiri yaitu bangsa Indonesia.

Memang saya akui kalau bahasa Indonesia adalah yang miskin dari berbagai aspek. Dari segi latar belakang, bahasa yang berasal dari daerah Kepulauan Riau ini hanya dipakai segelintir orang pada mulanya. Pada zaman perjuangan melawan pemerintahan kolonial Belanda, masyarakat sebagian besar masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Pemakaian bahasa Indonesia mulai berkembang seiring bertumbuhnya organisasi-organisasi politik sosial di awal abad ke 20 seperti Boedi Oetomo, Muhammadiyah, Taman Siswa, Perhimpunan Indonesia, dll. Dengan deklarasi Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia dipandang sebagai bahasa pemersatu bangsa multikultural ini dan juga merupakan solusi untuk mempermudah komunikasi antar berbagai suku dan etnik di Indonesia. 

Jika ditilik dari segi struktur dan penataannya, bahasa Indonesia tergolong bahasa yang miskin kosakata. Bahasa ini banyak sekali menyerap kosakata bahasa daerah dan bahasa asing, seperti bahasa Arab, Sansekerta, Jawa, Inggris, Mandarin, dan latin. Contohnya kata "angkasa" diadaptasi dari bahasa Sansekerta (a ka sa), kata "meski" diambil dari bahasa Spanyol (mas que) dan kata "bengkel" dari bahasa Belanda (winkel). Dewasa ini, makin banyak kosakata baru dimasukkan ke dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia seiring perkembangan globalisasi dan teknologi. Istilah-istilah kontemporer bahasa asing, terutama bahasa Inggris banyak dipungut dan diakulturasikan menjadi bahasa Indonesia. 

Dua faktor yang saya sebutkan di atas merupakan seringkali menjadi bukti dari kurangnya rasa identitas dan kepercayaan diri atas kapasitas bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang patut dipandang dunia. Perkembangan ekonomi yang pesat serta maraknya penanaman modal dari luar negeri mendukung generasi muda di kota-kota besar untuk mempelajari bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan mandarin yang diharapkan dapat mendukung karir mereka ke depan. Memang tidak salah jika kita mampu menguasai lebih dari satu bahasa karena hal ini bisa menjadikan aset pribadi yang memiliki nilai tambah bagi perekonomian tanah air. Namun, faktor ini tidak harus menjadi penyebab berkurangnya pemakaian bahasa Indonesia di dalam negeri. 

Bahasa adalah salah satu identitas dan tanda pengenal dari suatu negara. Setiap negara di seluruh dunia memiliki satu atau lebih bahasa nasional yang menjadi cerminan adat dan budaya suatu bangsa. Bahasa nasional selayaknya dipergunakan dalam percakapan sehari-hari baik secara lisan maupun tulisan dengan sesamanya dalam suatu lingkup kebangsaan. Sebagai contoh, orang Jerman akan berkomunikasi dengan bahasa Jerman kepada sesama orang Jerman di manapun ia berada. Sudah selayaknya bila seseorang merasa bangga atas bahasa ibunya sendiri karena bahasa nasional tidak hanya mencerminkan jati diri bangsa tetapi juga menjadi identitas individu. 

Sayangnya, hal ini tidak terjadi di kalangan bangsa Indonesia. Kita yang mengaku orang Indonesia, lahir di Indonesia, dibesarkan di dalam keluarga Indonesia, memegang KTP atau paspor hijau bergambarkan garuda di sampulnya seringkali malu mengakui bahasa Indonesia dengan cara menutup-nutupi penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang Indonesia, terutama yang tinggal dan dibesarkan di kota besar tidak jarang memandang rendah bahasa ini. Fakta yang ditemukan dewasa ini membuktikan bahwa generasi muda bangsa Indonesia tidak lagi menjunjung tinggi bahasa persatuannya. Di tengah-tengah kota besar terutama, dapat dijumpai banyaknya generasi muda bangsa, terutama di kalangan menengah ke atas yang tidak mampu memakai bahasa Indonesia baku secara baik dan benar. Dalam penggunaan sehari-hari, bahasa Indonesia sudah terkontaminasi dengan berbagai macam bahasa asing. Saya berpendapat bahwa pencorengan atas bahasa Indonesia dari orang Indonesia sama saja seperti mencoreng muka sendiri dengan lumpur kotor. Kita sama saja dengan mempermalukan diri sendiri dengan tidak mengakui bahasa Indonesia dan mempergunakannya dalam kehidupan berbangsa. 

Ironisnya, hal ini tidak disadari orang tua dan tenaga pendidik terutama di kota-kota besar. Menurut saya, pandangan orang tua saat ini terhadap pendidikan berkualitas selalu diasosiasikan dengan pendidikan berbasis bahasa Inggris. Sejak dini anak-anak sudah disekolahkan di institusi berbahasa Inggris yang membuat anak-anak lebih fasih berbahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Padahal, kebanyakan orang tua tetap berbahasa Indonesia dan hal ini dapat menimbulkan permasalahan komunikasi di keluarga. Tidak dapat dipungkiri jika orang tua ingin memberikan masa depan yang terbaik bagi anaknya dan faktor bahasa menjadi salah satu penunjang keberhasilan finansial seseorang, tetapi bahasa ibu tetap harus dipertahankan untuk menjaga kelangsungan hidup suatu bangsa.

Saya berani memprediksi jika hal ini tidak ditanggulangi dengan baik, dalam jangka waktu 5 tahun ke depan akan bermunculan kursus bahasa Indonesia di Indonesia sendiri dan mungkin dalam 50 tahun ke depan, presiden negara Republik Indonesia tidak mampu berpidato dengan bahasa Indonesia yang baku. Pendapat bahwa bahasa asing harus lebih dimasyarakatkan di dalam kehidupan berbangsa untuk memajukan kesejahteraan dan menunjukkan muka Indonesia di mata umum adalah suatu argumen yang konyol. Indonesia tidak akan menjadi suatu bangsa yang murni merdeka jika kita masih ragu akan keberadaan bahasa Indonesia, apalagi dengan mengakulturasikan bahasa asing ke dalam bahasa kita. Penggunaan bahasa asing yang menyudutkan bahasa nasional menunjukkan pula bahwa bangsa kita masih belum bisa menjadi bangsa yang mandiri dan ini membuktikan ketergantungan kita terhadap bangsa asing. Dan bila hal ini terus dibiarkan, Indonesia hanya akan bertumbuh dalam ekonomi saja, tetapi kita akan mengalami suatu kemunduran pesat dalam hal ketahanan negara yang semakin rapuh. 

Mari kita bercermin kepada dua bangsa besar di dunia, Jerman dan Jepang. Kedua negara ini merupakan negara maju di dunia dengan industri besar dan orang-orang terpelajar. Mereka juga memiliki bahasa nasional mereka masing-masing. Menariknya, sebagian besar masyarakat di dua negara ini hanya fasih dengan bahasa nasional mereka. Lebih lagi mereka sangat bangga akan bahasa mereka sampai terkadang bersikap acuh terhadap orang yang tidak memakai bahasa mereka di negaranya sendiri. Hal ini membuktikan pula bahwa kemajuan ekonomi juga bisa terjadi dari dalam dengan tidak perlunya pemakaian bahasa asing yang berlebihan. Memang umur dan pengalaman kedua bangsa tersebut sudah lebih dewasa dan unggul ketimbang Indonesia yang baru seumur jagung ini jika dilihat dari sejarah berdirinya bangsa tersebut. Sebagai bangsa yang baru, kita bisa memulai dari awal kembali dan membangun bangsa yang kokoh dengan identitas yang kuat dan membanggakan dunia. Salah satu caranya adalah dengan pelestarian bahasa Indonesia. Jadi, mulai sekarang marilah kita terus mengembangkan dan mempopulerkan bahasa Indonesia menjadi kebanggaan kita bersama. 


Orang Indonesia berbicara bahasa Indonesia.
Orang Indonesia harus cinta bahasa Indonesia.
Orang Indonesia harus bangga berbahasa Indonesia.


-sekian-




D.Lie
Orang Indonesia